3 Tren Konsumen Global 2026: Muda Selamanya, Butuh Kasih Sayang, dan Lelah dengan Algoritma
Jakarta, 2 November 2025 – Pernah merasa dunia bergerak terlalu cepat, tapi hati tetap mencari makna yang sama? Nah, laporan terbaru dari Mintel mungkin bisa menjawab rasa penasaran itu. Lembaga riset global ini baru saja merilis Prediksi Konsumen Global 2026, yang menyoroti bagaimana manusia kini ingin hidup lebih autentik, lebih hangat, dan lebih bebas dari kendali algoritma.
Tiga tema besar yang dibahas Mintel — The New Young, The Affection Deficit, dan Anti-Algorithm — bukan cuma tentang tren, tapi tentang cara baru manusia memaknai hidup di era digital. Mari kita bahas satu per satu dengan gaya Giral.id.
1. The New Young: Usia Hanya Angka
Semakin banyak orang menolak batasan usia. Di usia 30-an hingga 60-an, banyak yang memilih ‘mulai lagi’ — entah pindah kota, ganti karier, atau mengejar mimpi lama. Menurut Mintel, inilah masa ‘extended middle of life’, di mana orang ingin menikmati hidup sekarang, bukan menunggu pensiun.
Di Asia, contohnya sudah banyak: barista lansia di Korea Selatan, influencer 71 tahun di Filipina, hingga rencana perekrutan 400 ribu pekerja berusia 60+ di Thailand. Pesannya jelas: semangat muda itu soal rasa, bukan angka.
2. The Affection Deficit: Manusia Butuh Pelukan, Bukan Sekadar Notifikasi
Di tengah semua kemudahan digital, banyak orang justru merasa makin kesepian. Koneksi online yang cepat dan praktis seringkali terasa kosong. Mintel menyebut ini sebagai ‘defisit kasih sayang’. Kita mulai menilai perhatian dan cinta seperti transaksi — seberapa cepat, seberapa menguntungkan.
Brand yang jeli bisa mengambil peran besar di sini: membantu orang menemukan koneksi yang tulus, baik lewat komunitas, layanan emosional, atau sekadar ruang hangat untuk saling peduli. Di Asia, tren ini sudah muncul lewat ruang komunitas lintas generasi, aplikasi pendukung kesehatan mental, dan kampanye tentang self-love yang makin diterima luas.
3. Anti-Algorithm: Saatnya Mengambil Kendali Lagi
Algoritma pernah jadi teman baik — memberi rekomendasi, menghemat waktu, dan mempermudah hidup. Tapi kini banyak yang merasa jenuh. Apakah semua yang kita lihat benar-benar pilihan kita, atau hasil kurasi mesin? Fenomena ‘anti-algorithm’ adalah bentuk perlawanan halus: keinginan untuk kembali menentukan sendiri apa yang kita konsumsi dan percayai.
Beberapa brand di Asia mulai bereaksi. Di India, The Whole Truth keluar dari media sosial untuk menghindari ‘fatigue algoritma’. Di China, Meituan mencoba menyeimbangkan efisiensi dengan sisi manusiawi. Semakin ke depan, brand yang bisa menggabungkan teknologi dan empati akan lebih dipercaya konsumen.
Pada akhirnya, tiga tren ini mengingatkan kita bahwa di balik semua perubahan besar — dari AI hingga ekonomi digital — manusia tetap mencari hal yang sama: makna, cinta, dan kebebasan. Jadi, apa pun usia atau algoritmanya, mungkin yang paling relevan di 2026 nanti adalah jadi manusia seutuhnya.
