Catat! ini Prestasi GPFI: Mampu Turunkan Harga Obat 50 Persen di Indonesia
Jakarta, 14 November – Obat memiliki peran vital dalam menjaga dan memulihkan kesehatan masyarakat Indonesia, sekaligus menjadi salah satu fondasi penting dalam sistem pelayanan kesehatan nasional yang berkelanjutan. Selama lima dasawarsa terakhir, industri farmasi nasional yang tergabung dalam GPFI (Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia) telah berkontribusi dalam menghadirkan obat-obatan berkualitas dengan harga terjangkau.
Melalui kolaborasi erat antara Kementerian Kesehatan, Badan POM, Kementerian Perindustrian, dan pelaku industri, berbagai capaian strategis telah berhasil diwujudkan, baik dari sisi produksi, distribusi, maupun jaminan mutu obat yang beredar di masyarakat.
Prinsip 4K menjadi pilar utama industri farmasi nasional: Ketersediaan obat di seluruh fasilitas kesehatan; Keterjangkauan harga agar obat dapat diakses semua kalangan; Kualitas yang memenuhi standar GMP-CPOB dan Farmakope Indonesia; serta Kemandirian industri agar mampu memproduksi obat di dalam negeri tanpa ketergantungan pada bahan baku impor.
Namun, upaya pencapaian empat aspek tersebut bukan tanpa tantangan. Terdapat keseimbangan yang harus dijaga antara biaya produksi, regulasi kualitas, dan kemampuan masyarakat dalam mengakses obat. GPFI bersama para pemangku kepentingan terus mencari solusi untuk menjaga kepentingan antara keterjangkauan dan kualitas, antara kemandirian industri dan keberlanjutan pasokan.
Melalui kolaborasi berkelanjutan, GPFI berhasil membuktikan bahwa harga obat di Indonesia mengalami penurunan hingga 50 persen selama sepuluh tahun terakhir, tanpa mengorbankan mutu. Peningkatan efisiensi produksi, perbaikan sistem distribusi, serta dukungan kebijakan pemerintah telah menjadikan obat-obatan nasional semakin terjangkau bagi masyarakat luas.
Data IQVIA Kuartal II tahun 2025 menunjukkan, bahwa 85 persen obat yang digunakan masyarakat Indonesia merupakan obat generik produksi dalam negeri, sedangkan 15 persen lainnya menggunakan obat bermerek dan obat originator yang bukan produksi anggota GPFI.
“Data ini menunjukkan bahwa isu mengenai tingginya harga obat di Indonesia sudah tidak lagi relevan, karena mayoritas obat yang digunakan Masyarakat -sekitar 85 persen-merupakan obat generik dengan harga terjangkau. Industri farmasi nasional telah membuktikan bahwa obat berkualitas tidak harus mahal,” jelas Direktur Eksekutif GPFI, Elfiano Rizaldi, pada seminar Hari Kesehatan Nasional bertema Peran Strategis GPFI dalam Menegaskan Prinsip 4K untuk Menunjang Kesehatan Nasional, pada Kamis (13/11)
Kualitas Obat Generik
Kualitas obat generik nasional terbukti setara dengan obat bermerek. Hal ini dibuktikan melalui hasil penelitian kolaboratif Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam. Dari 1.274 sampel obat yang diteliti, hampir seluruhnya memenuhi standar mutu farmakope internasional.
Prof. Dr. apt. Yusi Anggraini, M.Kes, Co-Principal Investigator penelitian tersebut, yang juga menjadi salah satu narasumber seminar GPFI hari ini menegaskan, perbedaan harga tidak selalu mencerminkan perbedaan kualitas. Sebagian besar obat generik dalam negeri sudah memenuhi standar mutu tinggi dan aman digunakan masyarakat.
“Baik produk generik, nama dagang baik dari dalam negeri ataupun luar negeri, memiliki kualitas sebanding. Perlu dilakukan perluasan analisis untuk produk obat lain, sehingga semakin memperkuat bukti kualitas obat di Indonesia,” ungkap Yusi.
Pernyataan Yusi memperkuat kepercayaan publik bahwa obat produksi Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dibanding produk luar negeri. Upaya GPFI dalam memastikan kepatuhan terhadap standar BPOM dan CPOB merupakan bukti nyata komitmen industri terhadap kualitas.
Kontribusi Ekonomi dan Peran Strategis GPFI
Melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), lebih dari 98 persen masyarakat Indonesia -sekitar 281,8 juta jiwa- telah memperoleh akses layanan kesehatan yang memadai di berbagai fasilitas di seluruh negeri (data BPJS, 30 September 2025).
Program JKN yang berbasis prinsip gotong royong ini menjadi salah satu sistem kesehatan terbesar di dunia, dengan pembiayaan yang melibatkan pemerintah, perusahaan pemberi kerja, dan peserta mandiri.
Keberhasilan JKN menjadikan biaya layanan kesehatan di Indonesia termasuk yang paling efisien di kawasan ASEAN dan GPFI turut berperan aktif dalam menjaga efisiensi tersebut melalui penyediaan obat berkualitas dan terjangkau.
“Murahnya harga obat di Indonesia bukan berarti kualitasnya menurun, melainkan hasil dari efisiensi produksi, dukungan JKN, dan sinergi gotong royong seluruh pelaku industri farmasi,”tutur Elfiano i.
Industri farmasi juga berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Pada tahun 2024, kontribusi ekonomi industri farmasi mencapai sekitar Rp143 triliun, dengan efek berganda terhadap berbagai sektor terkait seperti bahan baku, kemasan, laboratorium, serta tenaga kerja manufaktur.
“Target kami adalah mencapai pertumbuhan lebih dari 8 persen agar industri farmasi menjadi penggerak ekonomi dan sejalan dengan visi Presiden Prabowo menuju Indonesia Emas 2045. Karena dukungan kebijakan pemerintah diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara keterjangkauan harga obat dan keberlanjutan industri,” jelas Drs. Elfiano Rizaldi.
GPFI mencatat, bahwa kolaborasi yang baik antara pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Perindustrian, pelaku industri dan stakeholders lainnya, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kemandirian produksi obat tertinggi di ASEAN, di mana lebih dari 82 persen kebutuhan obat nasional telah dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Peningkatan ini tidak hanya memperkuat ketahanan sektor kesehatan, tetapi juga membuka peluang investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. “Ini bukti keberhasilan investasi besar sektor farmasi nasional dalam riset dan fasilitas berstandar internasional,” ungkap Tirto Koesnadi, Ketua Umum GPFI.
