Kesalahan Epik Masyarakat Indonesia dalam Menyiapkan Bekal Pensiun

Jakarta, 16 November 2025 – Menyiapkan dana pensiun bukan sekadar menabung. Ini adalah perjalanan finansial jangka panjang yang membutuhkan strategi yang tepat agar kita bisa menikmati masa tua tanpa kekhawatiran. Demikian disampaikan Eveline Haumahu  Chief Marketing Officer PT Manulife Aset Manajemen Indonesia

Asia Care Survey 2025 mencatat masih banyak masyarakat Indonesia yang salah langkah dalam menyiapkan bekal pensiun—baik mereka yang masih muda maupun yang sudah mendekati masa pensiun.

Kesalahan ini berpotensi fatal. Hidup sengsara justru ketika tubuh tak lagi sekuat dulu. Maka, memahami strategi pensiun adalah keharusan, bukan pilihan.

Baca juga: 3 Tren Konsumen Global 2026: Muda Selamanya, Butuh Kasih Sayang, dan Lelah dengan Algoritma

Menurut Eveline waktu adalah kekuatan terbesar dalam mempersiapkan pensiun. Ketika kita sampai di usia pensiun, segala yang kita siapkan di kala produktiflah yang menjadi bekal kita. Pensiun adalah salah satu tujuan investasi, di mana kita punya waktu sangat panjang untuk mencapainya – ya walaupun itu juga tergantung kapan kita sadar harus mulai mempersiapkan.

Tahap pertama dari investasi untuk persiapan masa pensiun disebut babak akumulasi. Di tahap ini, misi kita adalah menumbuhkan modal investasi melalui instrumen yang agresif dan fluktuatif. 

“High risk, high return bisa jadi pilihan di babak ini. Saham atau reksa dana saham, emas, bahkan properti bisa jadi pilihan – asal dipahami benar risikonya,” tutur Eveline.

Setelah keriput bermunculan dan pensiun tinggal 3-5 tahun lagi, dimulailah tahap kedua yaitu babak preservasi. Di babak ini, lanjut Eveline, misi utama adalah mengurangi risiko demi menjaga modal yang telah terkumpul. Potensi laba lebih terbatas tak mengapa. Di fase ini obligasi dan reksa dana pendapatan tetap bisa jadi alternatif yang baik.

Lalu, ketika usia sampai di ujung masa produktif, dimulailah tahap realisasi, di mana kita akan mulai mengonsumsi bekal pensiun sebagai ganti penghasilan yang tak lagi datang saban bulan.

“Di tahap ini, bekal pensiun sebaiknya berbentuk sangat likuid dan mudah diakses, serta disiagakan dalam alternatif paling stabil dan bebas dari fluktuasi. Di fase ini, deposito dan reksa dana pasar uang boleh dipertimbangkan sebagai wadah investasi,” saran dia.

Epic Fail #1: Yang Muda, yang Konservatif

Asia Care Survey 2025 menunjukkan lebih dari 50% responden usia produktif menempatkan asetnya di instrumen tunai—tabungan, giro, dan sejenisnya. Padahal, instrumen ini tidak dirancang untuk bertumbuh. Jika terlalu lama “main aman”, kekuatan compounding hilang, dan dana masa depan menjadi tidak optimal.

Baca juga: Dari Laci ke Aplikasi: Cara Baru Investasi Emas di Era Digital

Epic Fail #2: Yang Tua Jadi Tuan Tanah

Sebanyak 38% responden usia 55+ masih menjadikan properti sebagai aset utama. Masalahnya: properti tidak likuid. Di saat pendapatan berhenti, kita justru membutuhkan aset yang mudah dicairkan, bukan yang butuh waktu bertahun-tahun untuk dijual.

Selain itu, usia pensiun seharusnya bukan lagi waktu untuk mengejar pertumbuhan melalui aset berfluktuasi tinggi.

Epic Fail #3: Lupa Tameng Keuangan

Banyak orang fokus investasi, tapi lupa proteksi. Padahal, satu musibah—sakit, kehilangan penghasilan, kecelakaan—bisa menghancurkan seluruh rencana masa depan. Dana darurat, asuransi kesehatan, dan asuransi jiwa adalah pondasi wajib sebelum memulai investasi jangka panjang.

Dana pensiun adalah tujuan jangka panjang yang membutuhkan strategi berbeda di setiap fase hidup. Mulailah di babak akumulasi saat masih produktif, amankan aset di babak preservasi, dan nikmati hasilnya secara likuid di babak realisasi Waktu akan menjadi sahabat terbaik jika kita mulai sekarang. Tapi ia bisa menjadi musuh paling kejam jika kita menunda,” pungkas Eveline.