Masihkah PR Dibutuhkan di Era AI? Ini Jawaban Praktisi
Bangkok, 17 November 2025 — Ketika kecerdasan buatan (AI) semakin lihai menulis rilis pers, memantau percakapan media sosial, hingga menyusun strategi konten, muncul satu pertanyaan besar: Masihkah praktisi Public Relations (PR) dibutuhkan?
Laporan terbaru “AI Adoption Among PR Professionals in Asia 2025” yang dirilis One Asia Communications (OAC) justru memberikan jawaban sebaliknya. AI bukan menggantikan peran PR, melainkan mengubahnya secara fundamental.
Studi yang melibatkan hampir 300 profesional komunikasi di 12 negara Asia Pasifik itu menunjukkan, bahwa AI telah mengambil alih banyak pekerjaan taktis — dari monitoring, drafting, hingga analisis data. Namun, peran strategis PR justru semakin menguat: menafsirkan data, menjaga etika komunikasi, dan membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan.
Baca juga: Menulis di Antara Napas Manusia dan AI
“AI mengubah peran komunikator menjadi penghasil insight dan pembangun kepercayaan,” ujar Siwon Hahm, Chairperson OAC sekaligus CEO Hahm Partners.
“Kita bergerak dari sekadar mengerjakan semuanya sendiri menjadi pengarah teknologi yang membantu memperdalam pemahaman manusia dan menjunjung kebenaran.”
Kepercayaan Tetap Jadi Elemen Inti
Dalam praktiknya, AI mampu menghasilkan tulisan dengan kecepatan dan skala yang tak mungkin dilakukan manusia. Namun, laporan ini menyimpulkan bahwa kepercayaan — elemen inti dari profesi PR — tetap membutuhkan penilaian manusia, terutama saat menyangkut reputasi, isu sensitif, dan komunikasi krisis.
Riset memperlihatkan tiga lapisan baru dalam peran PR di era AI:
- Strategic Judgement
Memutuskan kapan harus bicara, diam, atau merespons isu — tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada mesin. - Ethical Mediation
AI tidak memiliki moral; komunikatorlah yang menentukan apakah sebuah narasi adaptif tetap benar dan bertanggung jawab. - Human Connection Building
Membangun relasi, empati, dan kredibilitas dengan pemangku kepentingan tetap membutuhkan kepekaan manusia.
Generative Engine Optimisation (GEO)
Salah satu temuan menarik dalam studi ini adalah kemunculan Generative Engine Optimisation (GEO) — strategi agar brand tetap terlihat dan dipercaya dalam ekosistem AI generatif.
Baca juga: Haruskah Guru Digantikan AI?
Jika dulu PR berfokus pada liputan media dan impresi, kini tugasnya mencakup memastikan:
- Informasi brand mudah ditemukan dan dipahami oleh sistem AI
- Narasi beradaptasi secara dinamis sesuai prompt dan konteks
- Konten tetap autentik dan transparan meski diolah mesin
“Brand yang tidak hadir dalam ekosistem generatif berisiko dianggap tidak ada sama sekali,” tegas Ong Hock Chuan, CEO Maverick Indonesia.
Menariknya, GEO juga memiliki makna kedua: Governance, Ethics, and Oversight — tiga pilar yang menentukan apakah penggunaan AI dapat dilakukan secara bertanggung jawab.
Temuan kuantitatif riset menunjukkan:
- 58% profesional PR di Asia menilai AI berdampak positif pada pekerjaan
- 80% menyatakan perlu pelatihan formal AI
- Aplikasi tertinggi: pembuatan konten, analisis tren, dan pengukuran komunikasi
Dengan kata lain, AI membuat PR bisa bekerja lebih cepat, tetapi juga menuntut mereka lebih cerdas.
PR Tetap Dibutuhkan Tapi Perannya Tidak Lagi Sama
Jika pekerjaan PR dulu dipenuhi aktivitas manual seperti clipping media, menulis rilis, atau membuat laporan coverage, kini AI dapat mengerjakannya dalam hitungan detik. Berikut beberapa pekerjaan PR yang tidak bisa digantikan AI adalah:
- Menentukan apakah sebuah data layak dijadikan keputusan strategis
- Menerjemahkan analisis menjadi keputusan reputasi
- Menjembatani organisasi dengan publik dalam situasi krisis
- Menjaga narasi tetap etis dan dapat dipercaya
Dengan kata lain, AI tidak akan mendepak profesi AI, tetapi berevolusi menjadi navigator komunikasi, bukan lagi operatornya.
