Ekonomi Biru Indonesia Jadi Penentu Arah Baru Kawasan

Jakarta, 5 Desember 2025 — Komitmen baru Indonesia untuk memperkuat ekonomi biru dinilai menjadi titik balik penting bagi arah ekonomi Asia Tenggara. Menurut analisis EBC Financial Group (EBC), pendekatan ini akan membentuk ulang aliran investasi ESG, dinamika perdagangan, dan inovasi kelautan dalam beberapa dekade ke depan.

“Indonesia memasuki fase di mana pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan tidak lagi bertentangan,” ujar Samuel Hertz, Kepala APAC EBC. “Ekonomi biru menyatukan keduanya dan dapat mengubah hubungan Indonesia dengan investor global, pasar iklim, dan sistem perdagangan regional.”

Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan keanekaragaman hayati laut yang tinggi, Indonesia memiliki posisi strategis sebagai ekonomi bahari masa depan.

Indonesia memiliki sekitar 3,4 juta hektar mangrove dan padang lamun — sekitar 20% dari total mangrove global. Ekosistem ini menyerap CO₂ lebih efisien dibandingkan hutan daratan, berpotensi menjadi pondasi pasar blue carbon global. Namun, keberhasilan monetisasi karbon biru akan bergantung pada tata kelola yang kredibel, pemantauan konsisten, dan perlindungan komunitas pesisir.

Produksi rumput laut Indonesia mencapai 10,80 juta ton pada 2024, naik 10,82% YoY dan menyumbang 38% produksi global. Meski potensinya besar, baru 11,65% lahan budidaya yang dimanfaatkan. Ini membuka peluang pengembangan hilirisasi bernilai tambah — dari bioplastik, pupuk organik, hingga nutraseutikal.

Inovasi bioteknologi laut berkembang dari riset material ramah lingkungan hingga obat-obatan berbasis biodiversitas. Transformasi akuakultur berbasis teknologi dan inisiatif pelabuhan cerdas menunjukkan dorongan digitalisasi di sektor maritim yang sebelumnya konvensional. Keseluruhan tren ini menggeser Indonesia dari sekadar eksportir bahan mentah menjadi pusat teknologi kelautan berkelanjutan.

Perdagangan, Pengiriman, dan Geopolitik

Perubahan rantai pasokan global, pergeseran jalur energi, dan fragmentasi perdagangan menempatkan Indonesia pada posisi strategis baru. Ekonomi biru diproyeksikan mendorong pembentukan koridor pelayaran alternatif di luar Selat Malaka, serta pengembangan energi laut yang dapat mengubah peta distribusi energi regional.

Baca juga: Kargo Technologies Targetkan 40.000 Kendaraan EV pada 2035 untuk Menuju Electrified Silk Road

Pendapatan rumah tangga pesisir dan petani rumput laut naik sekitar 4,55% pada 2024, mencerminkan dampak langsung ekonomi biru terhadap daya beli dan ketahanan ekonomi lokal.

EBC menilai ekonomi biru Indonesia sebagai transformasi struktural berbasis tiga pilar:

1. Kredibilitas kebijakan blue carbon untuk menarik pembiayaan ESG global. 

2. Inovasi bioteknologi, hilirisasi rumput laut, dan akuakultur berkelanjutan guna mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah. 

3. Infrastruktur maritim dan logistik modern yang memperkuat posisi Indonesia dalam arsitektur perdagangan Asia Tenggara.

“Ekonomi biru berpotensi mendefinisikan ulang posisi Indonesia di pasar global — bukan hanya sebagai eksportir komoditas, tetapi pemimpin dalam keberlanjutan dan inovasi,” kata Hertz. “Ini adalah cerita transformasi struktural, bukan tren sesaat.”

Tantangan Pengelolaan Ekonomi Biru Indonesia

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap berbagai tantangan dalam pengelolaan ekonomi biru Indonesia berdasarkan hasil audit sejumlah program kelautan dan perikanan. Tantangan tersebut mulai dari lemahnya infrastruktur pengawasan hingga minimnya koordinasi lintas sektor.

Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara IV BPK, Syamsudin, dalam pelatihan audit ekonomi biru yang digelar BPK beberapa waktu lalu, menyampaikan bahwa ekonomi biru merupakan pendekatan pembangunan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Blue economy menyasar tiga tujuan yakni pembangunan ekonomi, menjaga lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan,” ujar Syamsudin dalam paparannya yang bertajuk “Blue Economy Audit: BPK’s Strategy to Support the Sustainability of Marine Resources.”

Seperti dikutip dari laman warta.bpk.go.id, Syamsudin menegaskan ekonomi biru berkaitan erat dengan sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), seperti SDG 13 tentang aksi iklim, SDG 14 mengenai sumber daya laut, dan SDG 15 yang fokus pada perlindungan ekosistem daratan.

Baca juga: Kakao Aceh Menuju Masa Depan Regeneratif

Sejak 2017, BPK telah melakukan sejumlah pemeriksaan yang relevan dengan ekonomi biru, antara lain audit pembangunan tanggul laut, pengawasan kegiatan perikanan (2021), serta kuota perikanan dan pengelolaan wilayah pesisir (2023). Dari audit tersebut, BPK menemukan sejumlah masalah yang berulang, salah satunya adalah ketidakcukupan infrastruktur untuk melaksanakan  operasi pengawasan perikanan modern.

“Pemeriksaan ini penting karena ekonomi biru menyangkut hajat hidup masyarakat, baik dari aspek ekonomi maupun pelestarian keanekaragaman hayati,” kata Syamsudin.

Ia menambahkan, jika dikelola dengan baik, ekonomi biru dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja, dan konservasi lingkungan. Syamsudin juga menyoroti pentingnya penguatan pemahaman lintas sektor, mengingat ekonomi biru mencakup bidang yang luas seperti perikanan, akuakultur, konservasi, dan lain-lain.