Apa Itu Family Office yang Bikin Luhut dan Purbaya Berdebat
Jakarta, 2 November 2025 – Isu family office sempat bergulir di masa Pemerintahaan Jokowi, namun kala itu respon publik masih adem ayem. Kini, isu itu mengemuka dipicu oleh ucapan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyatakan tidak akan sepeserpun mengeluarkan duit dari APBN untuk membiayai pembangunan family office.
Purbaya merespon DEN (Dewan Ekonomi Nasional) yang mengusulkan agar pembangunan family office, yang rencananya akan dipusatkan di Bali menggunakan dana APBN. Tidak tanggung-tanggung yang mengusulkan Ketua DEN Luhut Binsar Panjdaitan (LBP).
Alasan Purbaya ogah mendanai family office, karena APBN hanya difokuskan untuk membiayai program-program prioritas guna mendorong perekonomian domestik. Selain itu, Purbaya tidak terlalu memahami konsep dari rencana besar yang digagas oleh Ketua DEN.
Jadi, kalau sobat Giral belum atau tidak memahami family office, ya wajar saja. Lah, Purbaya saja yang sudah khatam soal dunia keuangan, tidak terlalu paham tentang family office.
Sekarang yuk, kita coba pahami itu family office, hasil riset kecil-kecilan Redaksi Giral.id dan dibantu AI.
Dilansir dari investopedia.com, family office adalah perusahaan penasihat keuangan pribadi yang memberikan layanan manajemen kekayaan secara menyeluruh kepada individu dengan kekayaan sangat tinggi (ultra-high-net-worth individuals / UHNWIs) — umumnya mereka yang memiliki aset yang siap diinvestasikan lebih dari US$30 juta.
Berbeda dari perusahaan manajemen kekayaan pada umumnya, family office tidak hanya mengelola investasi, tetapi juga menangani penganggaran, perencanaan pajak, perencanaan warisan dan suksesi, asuransi, filantropi, hingga layanan pribadi seperti perjalanan dan gaya hidup.
Menurut laman Investopedia terdapat dua jenis utama:
– Single-Family Office (SFO): Melayani satu keluarga saja secara eksklusif.
– Multi-Family Office (MFO): Melayani beberapa keluarga sekaligus, dengan skema berbagi biaya dan sumber daya untuk efisiensi.
Dalam perjalanannya family office telah berkembang menjadi lembaga strategis. Tidak hanya mengelola aset keuangan, tapi juga menangani hal-hal pribadi seperti pendidikan anak, perjalanan, keamanan, hingga kegiatan filantropi.
Di era di mana reputasi dan tanggung jawab sosial menjadi bagian dari identitas publik, banyak keluarga memilih menggunakan family office untuk menyalurkan investasi berdampak — atau apa yang kini dikenal sebagai impact investing.
Nama-nama besar seperti Rockefeller Family Office, Walton Enterprises (keluarga Walmart), hingga Temasek’s Family Office di Singapura menjadi contoh bagaimana kekayaan pribadi bisa diubah menjadi mesin investasi nasional.
Kenapa Family Office Menarik bagi Negara?
Bagi pemerintah, terutama negara berkembang seperti Indonesia, family office dianggap sebagai magnet baru untuk arus modal jangka panjang. Alih-alih hanya mengundang investor asing lewat zona ekonomi khusus, family office membawa kapital, jaringan global, dan strategi filantropi yang sering kali berujung pada pembentukan ekosistem bisnis baru.
Negara seperti Singapura dan Uni Emirat Arab sudah merasakan dampaknya. Singapura kini menampung lebih dari 1.500 family office yang bersama-sama mengelola aset lebih dari US$200 miliar. Dampaknya tak cuma ekonomi, tapi juga reputasi: mereka menjadi pusat keuangan paling stabil di Asia Tenggara.
Bagi Indonesia, kehadiran family office bisa menjadi cara baru untuk memulangkan modal diaspora, memperkuat pembiayaan startup, dan menciptakan mekanisme investasi yang lebih tahan krisis.
Tapi, Apa Risikonya?
Seperti semua hal yang berbau kekuasaan dan uang besar, family office juga tak lepas dari risiko. Beberapa kritik menyebutnya sebagai “zona abu-abu kekayaan global” — di mana transparansi sering dikorbankan atas nama privasi.
Beberapa potensi masalah yang sering muncul:
– Regulasi pajak dan akuntabilitas yang sulit dilacak.
– Ketimpangan ekonomi jika hanya berputar di kalangan ultra-kaya.
– Potensi penyalahgunaan struktur keuangan untuk tujuan non-produktif seperti tax haven atau politik uang. Jadi, ketika pemerintah berbicara soal family office nasional, pertanyaannya bukan hanya ‘berapa banyak uang yang bisa ditarik masuk?’, tapi juga ‘apakah sistemnya akan adil, transparan, dan membawa manfaat sosial?’
