Indonesia Ternyata Belum Kapok Bikin Mobil Nasional

Jakarta, 18 November 2025 – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal ambisi membangun mobil dan motor nasional kembali membangkitkan euforia—dan juga keraguan. Indonesia seakan belum kapok. Dua proyek sebelumnya, Timor dan Esemka, berakhir sebagai catatan sejarah, bukan tonggak kejayaan industri.

Namun, konteks hari ini kondisinya berbeda. Pasalnya, Industri otomotif sedang bergeser menuju elektrifikasi, teknologi manufaktur makin terjangkau, dan Indonesia sudah menjadi basis produksi sejumlah pemain global. Lalu, apakah kali ini peluangnya lebih besar? Ataukah proyek mobil nasional kembali menjadi jargon politik yang tidak pernah benar-benar lahir sebagai sebuah brand?

Prabowo berulang kali menyatakan bahwa Indonesia harus memiliki mobil dan motor buatan sendiri. Ia mengeklaim dana dan lahan pabrik sudah disiapkan, dengan target dalam beberapa tahun ke depan.

Dalam narasi kemandirian industri, gagasan ini tidak keliru. Indonesia adalah pasar mobil terbesar di Asia Tenggara. Tetapi sejarah menunjukkan. yang paling sulit bukan membuat mobilnya—melainkan membangun industri dan brand otomotif nasional.

Pelajaran dari Timor & Esemka

Timor lahir dengan kekuatan politik, bukan kekuatan produk. Ia memiliki proteksi, tetapi tidak punya basis teknologi dan rantai pasok yang berkelanjutan.

Esemka punya kekuatan simbolis—narasi “mobil anak bangsa”. Namun tanpa roadmap produksi, investasi, dan model bisnis yang solid, ia terjebak menjadi proyek simbolik, bukan merek yang bertumbuh.

Singkat kata keduanya gagal membangun brand otomotif yang dipercaya konsumen. Jika kali ini ambisi mobil nasional kembali digagas, pertanyaan kritisnya bukan lagi “bisa diproduksi atau tidak”, tetapi “bisa dipercaya dan dibeli konsumen atau tidak?”

Industri Otomotif: Mahal, Perlahan, dan Brutal

Membangun industri mobil bukan seperti membangun pabrik katering, melainkan ekosistem bisnis bernilai ratusan triliun dengan burn rate sangat tinggi. Berikut beberapa fakta industrinya.

  • Rata-rata brand otomotif global butuh 10–20 tahun hingga dipercaya konsumen.
  • Biaya produksi satu platform mobil baru bisa mencapai USD 1–2 miliar — sebelum satu unit pun dijual.
  • 70% keputusan membeli mobil ditentukan oleh brand trust, bukan hanya spesifikasi atau harga.
  • After-sales adalah faktor paling menentukan. Banyak merek gagal bukan karena desain mobil buruk, tetapi karena jaringan servis dan spare part tidak siap.

Menimbang berbagai faktor tersebut jelas membangun merek otomotif nasional bukan hanya soal “bikin pabrik” — tetapi membangun rantai pasok lokal (local content), desain dan rekayasa sendiri (bukan rebadge), jaringan distribusi dan bengkel, layanan after-sales yang konsisten, dan kepercayaan konsumen yang dibangun selama bertahun-tahun

Tanpa itu semua, mobil nasional akan selalu kalah secara brand equity dengan merek global seperti Toyota, Mitsubishi, atau Hyundai—Bahkan jika harganya lebih murah.

Apakah Era EV Membuka Peluang?

Justru di sinilah peluangnya. Gelombang kendaraan listrik menciptakan “reset market”. Tidak ada merek yang dominan di segmen EV menengah ke bawah di Asia Tenggara. Jika mobil nasional masuk sebagai brand EV, momentum ini lebih realistis ketimbang memaksa bersaing di segmen bensin yang sudah jenuh.

Namun syaratnya tetap sama yakni R&D harus dilakukan di Indonesia, produksi spare part harus tersedia, jaringan servis harus siap sebelum peluncuran, serta skala produksi harus realistis, bukan ambisius di atas kertas

Apakah itu saja cukup? Tentu belum, karena mobil nasional mesti menjawab 3 Pertanyaan Strategis agar meraih sukses di pasar?

1. Apa posisi brand-nya?
Budget car? EV? SUV lokal ala Maung versi sipil? Tanpa positioning, mobil nasional hanya akan menjadi mobil “yang kebetulan diproduksi di Indonesia”.

2. Apa keunggulan uniknya dibanding merek Jepang–Korea–China?
Harga saja tidak cukup. Diperlukan narrative equity: apakah ini kendaraan ramah lingkungan? Apakah mengusung “proudly made in Indonesia” dengan kandungan lokal tinggi?

3. Siapa yang mendanai keberlanjutan brand-nya dalam 10+ tahun?
Toyota menghabiskan USD 4 miliar per tahun untuk riset. Tesla butuh 13 tahun sampai untung. Brand otomotif tidak bisa dibangun dalam satu periode pemerintahan.

Mesti tantanganya berat, ambisi mobil nasional bukan mustahil, tetapi tidak murah dan tidak cepat. Tantangannya bukan hanya soal produksi, tetapi membangun brand yang dipercaya konsumen.

Sejarah Timor dan Esemka memberi pesan jelas: proyek mobil nasional gagal bukan karena tidak ada kemampuan membuat mobil—melainkan karena tidak ada strategi brand, tidak ada ekosistem pendukung, dan terlalu banyak kepentingan politik.

Jika kali ini pemerintah ingin benar-benar mewujudkan “mobil Indonesia”, maka ia harus bergerak seperti korporasi global, bukan proyek simbolis negara: berbasis riset, berorientasi produk, dengan horizon 10–20 tahun, dan dengan brand yang mampu menciptakan loyalitas — bukan sekadar nasionalisme sesaat.

Dari berbagai sumber