MBG dan Tantangan Gizi Anak Indonesia: Saat Makan Sehat Jadi Investasi Masa Depan

Jakarta, 1 November 2025 – Program Makanan Bergizi (MBG) yang digulirkan pemerintah menjadi salah satu langkah strategis dalam mengatasi masalah gizi di Indonesia. Bukan sekadar penyediaan makanan untuk anak sekolah, MBG dianggap sebagai investasi jangka panjang untuk membangun generasi Indonesia Emas 2045.

Namun, seberapa efektif program ini dalam menjawab persoalan gizi, dan tantangan apa yang dihadapi di lapangan?Menurut ahli gizi Mochammad Rizal, MS, RD, Indonesia tengah menghadapi fenomena triple burden of malnutrition — beban gizi ganda yang mencakup stunting, anemia, dan obesitas yang meningkat, terutama pada anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.

“Permasalahan gizi yang ingin kita atasi bukan hanya tentang tinggi badan. Pemerintah melihat MBG sebagai investasi jangka panjang untuk masa depan Indonesia,”
Mochammad Rizal, ahli gizi dan kandidat PhD bidang International Nutrition, Cornell University, AS.

Efektivitas dan Dampak Berantai

Secara ideal, intervensi gizi yang paling tepat sasaran adalah menyentuh ibu hamil hingga anak usia dua tahun. Namun, MBG saat ini lebih difokuskan pada penyediaan akses pangan bergizi bagi anak-anak sekolah dari keluarga kurang mampu.

Jika dijalankan dengan konsisten dan tepat sasaran, MBG dinilai dapat memberi efek berantai yang positif — mulai dari peningkatan status gizi, penurunan anemia, hingga tumbuhnya generasi bebas stunting.

Selain itu, kehadiran makanan bergizi di sekolah juga diharapkan dapat meningkatkan semangat belajar. Anak dengan perut kenyang lebih fokus, sementara program ini turut mendorong rantai pasok pangan lokal: petani, nelayan, hingga usaha katering rumahan.

Tantangan di Lapangan

Meski potensinya besar, pelaksanaan MBG di lapangan tak semudah membalikkan tangan. Salah satu kendala utama adalah kebiasaan makan anak zaman sekarang yang terbiasa dengan ultra processed food (UPF) seperti snack, sosis, dan makanan tinggi gula atau garam.

“Menu MBG yang ideal justru berisiko tidak dihabiskan, karena anak lebih suka makanan olahan. Tapi kalau menyesuaikan selera anak dengan menu UPF, maka tujuan pemenuhan gizi jadi melenceng,” kata Rizal.

Di sinilah dibutuhkan strategi bertahap untuk mengubah perilaku makan anak — bukan sekadar memberi makanan, tapi juga membangun kesadaran gizi sejak dini.

Peran Krusial Ahli Gizi

Program ini tak bisa dilepaskan dari peran ahli gizi. Mereka menjadi garda depan dalam memastikan menu MBG sesuai standar gizi seimbang dan aman dikonsumsi. Sayangnya, rasio kerja yang tidak ideal masih menjadi tantangan besar.

“Rasio satu ahli gizi untuk memantau 3.000–4.000 porsi itu berat. Risiko keamanan pangan bisa meningkat. Tapi kabar baiknya, kini ada regulasi baru yang membatasi maksimal 2.000 porsi per Satuan Penyediaan Pangan Bergizi (SPPG). Ini langkah perbaikan,” ujar Rizal.

Selain mengawasi menu, ahli gizi juga punya tugas lain yang tak kalah penting — mengedukasi anak dan keluarga tentang pentingnya makan seimbang. Karena perubahan nyata hanya bisa terjadi jika kesadaran tumbuh dari kebiasaan sehari-hari.

Monitoring dan Evaluasi di Satuan Pendidikan

Untuk mengukur adanya perubahan perilaku pola makan sehat di sekolah, dilakukan evaluasi makanan yang habis atau tidak habis dikonsumsi secara berkala. Selain itu sekolah juga diharapkan untuk mengumpulkan data jumlah makanan tidak layak konsumsi, hingga pelaporan jumlah kejadian tak terduga, termasuk insiden keamanan pangan yang terjadi di sekolah. Panduan evaluasi ini tertuang dalam Panduan Implementasi Program MBG di Satuan Pendidikan yang disusun Kemendikdasmen (2025).

Selain itu, dalam upaya mengukur dampak MBG, sekolah dihimbau untuk melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, serta indeks massa tubuh siswa setiap enam bulan sekali. Tidak hanya itu, sekolah juga diwajibkan mengukur perubahan perilaku  siswa tentang gizi dan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah.

Melalui panduan tersebut, harapannya pengumpulan data yang komprehensif seperti, data jumlah penerima manfaat, data menu MBG, data food waste, dan status gizi sebelum dan setelah MBG berjalan, menjadi basis data sangat penting untuk evaluasi kebijakan. Lebih jauh lagi, apabila memang hasilnya positif, hal tersebut menjadi validasi bahwa MBG adalah program yang baik dan perlu dipertahankan.