Menulis di Antara Napas Manusia dan AI

Jakarta, 3 November 2025 – Pada suatu siang yang tenang di rumah saya, yang sesekali hanya terdengar deru suara motor dan candaan anak-anak pulang dari sekolah. Di ruangan “serba guna” di rumah saya—di situ saya kerja, rebahan, merenungi nasib, makan, tidur, dan beribadah.

Seperti biasa laptop menyala lebih dulu daripada pikiran saya. Tanpa kopi dan camilan, cuma segelas air putih ada di sisi laptop. Pikiran saya menerawang. Dulu di jam-jam segini biasanya saya bercengkerama tentang apa saja dengan teman kantor. Banyak obrolan random mengalir begitu saja. Ngomongin film terbaru, musik, politik, gibahin artis dan bos di kantor, sampai keluhan laptop bapuk yang tak kunjung diganti oleh kantor.

Setelah memutuskan “pensiun dini” saya lebih sering jaga rumah. Jarang liputan atau kongkow-kongkow di luar. Untuk keluar rumah mencari hiburan saja mesti berpikir berkali-kali, karena saya benar-benar harus menghemat uang untuk menghidupi keluarga saya.

Dari dulu saya memang suka membaca, terutama baca koran atau majalah. Dari situ saya mencoba untuk belajar menulis. Dulu sewaktu kuliah pernah coba-coba bikin cerpen dan puisi, tapi ditolak media dan penerbit. Sekarang file nya entah kemana. Pernah juga coba bikin novel, cuma kuat sampai bab empat. Habis itu mentok mau dibawa kemana tuh jalan ceritanya.

Untunglah dunia jurnalistik “menyelamatkan” hidup saya, walaupun saya ini bukanlah jurnalis idealis dan enggak pernah kerja di media besar (media mainstream kata orang mah). Lumayanlah, selama saya jadi wartawan pernah beberapa kali menjuarai lomba jurnalistik yang diselenggarakan oleh beberapa perusahaan besar, dan pernah memimpin pembuatan media internal untuk beberapa perusahaan terkenal. Sempat juga diangkat jadi Pimpinan Redaksi di salah satu media, meskipun cuma seumur jagung.

Setelah pandemi Covid-19 saya merasa semangat untuk menulis merosot tajam. Tapi entahlah, apa karena pandemi atau memang saya saja sudah yang letih dan nggak punya gairah lagi untuk menulis.

Namun belakangan ini ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya, atau tepatnya memantik rasa ingin tahu. “Sekarang nulis bisa dibantu AI,” begitu kata teman saya. “Apa iya”? Kata saya dalam hati. “AI kan cuma mesin apa dia punya emosi dan empati ketika menulis”.

Menghilangkan rasa penasaran, saya pun mencoba-coba berbicara dengan mesin itu. Ketika jari-jari saya yang mewakili pikiran saya bertanya pada AI di keyboard komputer, dijawab dengan cepat, bahkan teramat cepat. Bukan itu saja, AI juga memberi beberapa alternatif jawaban atau solusi dari berbagai hal yang saya tanyakan. Luar biasa..

Dalam hati saya bergumam, “Ngehe nih AI” apa aja serba tahu dan responnya secepat kilat. Kita bertanya pada ahli saja juga belum tentu dijawab secepat itu. Kalian wartawan pasti tahu kan, kadang ada narasumber yang menyandang pakar mikirnya suka lama kalau ditanya, itupan kutipannya kadang tidak enak untuk dituangkan langsung dalam tulisan, mesti diolah dulu. Lah, AI jawabannya terstruktur banget, lengkap, dan konfehensif.

Dari pengalaman perdana saya dengan AI, saya merasa ada sesuatu yang aneh tapi juga magis. Saya seperti sedang berdialog dengan bayangan yang juga ingin memahami dunia manusia. Ngehe kan, temen kita aja belum tentu selalu ada disamping kita untuk nampung curhatan kita.

Kecepatan dalam Kesendirian

AI menulis cepat, hampir tanpa tarikan napas. Sementara saya menulis lambat, sering berhenti di tengah kalimat untuk berpikir, sekadar menatap jendela atau menyeruput kopi. Dalam kecepatan itu, saya menemukan perbedaan mendasar: manusia menulis untuk memahami, mesin menulis karena diminta. Dan di antara keduanya, ada ruang yang semakin menarik untuk dijelajahi.

Ketika pertama kali saya menggunakan AI di Giral.id, niatnya sederhana: membantu menyusun berita, merapikan data, dan menyingkat rilis yang panjang. Tapi pelan-pelan, saya sadar, yang terjadi bukan sekadar bantuan teknis. Saya mulai berdialog tentang bahasa, tentang ritme, tentang makna. Saya tidak lagi sekadar memerintah mesin—saya mulai belajar darinya.

AI memberi saya struktur; saya memberi AI perasaan. Ia mengingatkan saya pada editor yang perfeksionis: tajam, presisi, dan dingin. Tapi dari interaksi saya dengan AI, saya menemukan ruang refleksi baru. Mungkin, di era ini, menulis bukan lagi soal siapa yang lebih hebat—manusia atau mesin—melainkan bagaimana keduanya bisa saling berkolaborasi dan mengasah kepekaan.

Eksperimen dan Mimpi

Sebagai media independen yang saya kelola sendiri, saya tetap punya mimpi Giral.id akan menjadi media yang terus berkembang. Entah Bagaimana caranya. Kami tidak punya kantor, apalagi awak jurnalis dan tim riset, layaknya sebuah institusi media.

Hanya ruang serba guna di rumah saya, koneksi internet, dan rasa ingin berbagi cerita dan peristiwa kepada khalayak. Dari situ saya berpikir, ketika saya cuma punya modal dengkul untuk membangun Giral.id, AI menjadi sumber daya gratis yang dapat membantu saya dalam banyak hal.

Saya menggunakan AI untuk merangkai struktur berita, mempercepat riset data, dan kadang untuk menanyakan hal-hal sederhana: “Adakah judul yang lebih bagus dari yang saya buat, apakah kalimat ini terlalu kaku, bisa lebih lembut nggak?” atau “Apa pembaca akan asing kalau saya menulis dibantu AI?” AI menjawab dengan cepat—kadang terlalu cepat—tapi dari situ saya belajar bahwa bahkan algoritma pun bisa dilatih untuk memiliki empati, setidaknya sedikit.

Yang menarik, AI justru membuat saya lebih sadar akan nilai-nilai manusiawi dalam menulis. Saat ia menampilkan draf sempurna, saya justru ingin menambahkan cacat: metafora yang tidak logis, jeda yang terlalu panjang, atau kalimat yang sengaja dibiarkan menggantung. Karena di sanalah, menurut saya, letak kehidupan.

Napas di Antara Kata

AI tidak bernapas. Tapi saya bisa merasakan “napas” itu saat membaca tulisannya—rata, stabil, tak mengenal lelah. Di sisi lain, tulisan manusia kompleks: ada keraguan, ada keinginan yang tak selesai, ada emosi yang tak bisa dikontrol. Namun, mungkin justru karena itulah tulisan manusia abadi.

Dalam kerja sehari-hari, saya mulai memahami bahwa kolaborasi ini bukan tentang hasil akhir, melainkan proses saling mengisi. Saya ingin AI memahami konteks berpikir dan selera saya. Di sisi lain, saya belajar dari AI tentang konsistensi, kedisiplinan, dan kemampuan melihat pola besar.

Kadang saya berpikir, mungkin menulis bersama AI seperti berdialog dengan diri sendiri versi lain—yang lebih rasional, tak pernah lelah dan tak punya pretensi. Sementara saya, yang manusia, penuh cela dan gampang lelah, ingin memberi sedikit rasa pada setiap algoritma yang disodorkan AI.

Antara Takut dan Rasa Ingin Tahu

Tentu ada ketakutan. Banyak orang berkata AI akan menggantikan penulis, editor, bahkan jurnalis. Tapi menurut saya, ketakutan itu bisa menjadi pintu refleksi. Bukankah selama ini setiap teknologi baru selalu membuat kita cemas? Kamera dulu dianggap akan membunuh lukisan, tapi justru melahirkan sinema. Media sosial dikhawatirkan akan menghempas relasi sosial. Ternyata media sosial malah menciptakan relasi-relasi sosial baru. Bukankah banyak reuni-reuni tercipta diawali dari cuap-cuap di media sosial.

Yang membuat saya tenang adalah kesadaran bahwa teknologi tidak pernah benar-benar menggantikan manusia—ia hanya memperluas cara kita melihat dan menulis dunia. AI tidak bisa menulis dengan pengalaman kehilangan, jatuh cinta, jengkel atau kesepian. Ia hanya berupaya memprediksi pola-pola emosi itu. Tapi kita, manusia, merasakannya langsung. Dan “RASA”, bagi saya, tetap menjadi sumber utama jurnalisme. Ia adalah bahan bakar dari semua narasi yang ingin kita sampaikan ke publik.

Menulis Bersama Bukan Digantikan

Di Giral.id, saya tidak ingin AI menjadi mesin produksi berita, tapi mesin refleksi. Setiap kali saya menulis artikel, saya biarkan AI memberi versi lain, lalu saya membandingkannya. Dari sana lahir banyak percakapan: tentang diksi, tentang arah editorial, bahkan tentang apa itu “gaya khas Giral.”

Saya menyadari sesuatu yang menarik—AI memaksa saya untuk kembali mengenali bahasa saya sendiri. Dalam proses itu, saya belajar dua hal: pertama, bahwa menulis adalah bentuk berpikir yang paling jujur; kedua, bahwa kolaborasi manusia dan mesin adalah bentuk berpikir bersama.

Saya kok bermimpi, media mikro seperti Giral.id bisa menjadi laboratorium kolaborasi baru—tempat manusia dan algoritma bernegosiasi setiap hari untuk menulis dengan lebih manusiawi.

Masa Depan yang Lebih Manusiawi

Setiap kali saya selesai menulis bersama AI, ada perasaan aneh: sedikit kagum, sedikit takut, tapi juga haru. Karena di tengah algoritma yang dingin, saya justru menemukan kembali kehangatan dari menulis itu sendiri. Ia membuat saya sadar bahwa menjadi manusia bukan tentang menolak teknologi, tapi menempatkannya di tempat yang tepat.

Saya percaya masa depan jurnalisme tidak akan ditentukan oleh siapa yang paling cepat menulis, tapi siapa yang paling mampu memahami. Dan untuk memahami, manusia masih jauh lebih unggul.

Di era ketika berita bisa ditulis dalam hitungan detik oleh mesin, mungkinkah media mikro seperti Giral.id mendapat tempat di hati khalayak? Jujur saya tidak tahu dan waktu yang akan menjawabnya. Tapi boleh dong saya berharap Giral.id menjadi “rumah kecil” bagi percakapan antara manusia dan algoritma—di mana keduanya belajar bernapas bersama.