Pasar Saham Indonesia Siap Rebound di tengah Stimulus dan Penurunan Suku Bunga
Jakarta, November 2025 — Memasuki penghujung tahun, pasar saham Indonesia menunjukkan tanda-tanda pergeseran sentimen. Setelah sempat dirundung pesimisme akibat ketidakpastian tarif Amerika Serikat, lemahnya aktivitas ekonomi domestik, dan arah kebijakan pemerintah yang belum stabil pasca-transisi, kini arah angin mulai berubah.
Samuel Kesuma, CFA – Chief Investment Officer – Equity, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia mengungkapkan ada tiga faktor yang menjadi sinyal positif bagi ekonomi dan pasar saham. Stimulus ekonomi yang mencapai IDR46 triliun untuk periode September – Desember, termasuk bantuan langsung tunai IDR30 triliun yang dapat lebih langsung menjadi katalis bagi konsumsi.
Akselerasi belanja pemerintah yang secara historis mengalami akselerasi di 4Q. Per September belanja pemerintah baru mencapai IDR2234 triliun (63% dari target), dengan asumsi belanja dapat mencapai 100% dari target, maka masih ada potensi belanja pemerintah mencapai lebih dari IDR1200 triliun di 4Q, jauh lebih besar dari kuartal-kuartal sebelumnya.
“Penurunan BI Rate dan injeksi likuiditas dari pemerintah diharapkan dapat mempercepat penurunan suku bunga perbankan dan menarik minat dunia usaha untuk meningkatkan permintaan kredit. Pertumbuhan uang M2 meningkat di September mencapai 8% (sebelumnya 7.6%) dan pertumbuhan kredit tumbuh 7.7% (bulan sebelumnya 7.5%),” ungkap Samuel.
Samuel pun melihat masih ada ruang penurunan suku bunga lebih lanjut bagi BI. Inflasi inti domestik masih pada level rendah, di mana per Oktober di level 2.4% YoY, dan apabila kita mengeluarkan komponen emas yang naik signifikan tahun ini, maka inflasi inti masih di level 1.9%. Dalam siklus penurunan suku bunga sebelumnya di 2016 dan 2020, selisih antara BI Rate dan inflasi inti dapat menyempit ke kisaran 160bps, sementara saat ini selisih tersebut masih di kisaran 235bps.
Saham-saham kategori blue chip, tegas Samuel, pada dasarnya adalah saham yang pergerakannya dipengaruhi oleh perkembangan fundamental. Sayangnya tahun ini kinerja laba emiten blue chip terpengaruh oleh ekonomi domestik yang lemah.
“Ke depannya kami melihat potensi yang lebih baik bagi saham blue chip Indonesia didukung oleh ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang membaik. Tingkat valuasi saham blue chip saat ini sangat menarik, dilihat dari dividend yield untuk indeks LQ45 saat ini di kisaran 5.3%, lebih tinggi dari yield SBN 1Y di 4.8% dan kompetitif dengan yield SBN 5Y di 5.5%. Kami melihat dengan semakin turunnya suku bunga dan yield obligasi maka daya tarik bagi pasar saham akan semakin meningkat, terutama saham blue chip yang telah underperform tahun ini,” paparnya.
Menyoal strategi pengelolaan reksa dana saham MAMI saat ini, Samuel menegaskan, MAMI tetap akan berfokus pada saham-saham dengan kinerja fundamental yang solid, bahkan di tengah situasi makro ekonomi yang masih menghadapi banyak tantangan.
Selain itu, perubahan sentimen pasar terhadap outlook pertumbuhan ekonomi domestik dan kebijakan pro-pertumbuhan dari pemerintah dan bank sentral diharapkan dapat mendukung perbaikan kinerja keuangan emiten dan menarik minat investor terhadap pasar saham.
“Walaupun IHSG telah berada di level yang relatif cukup tinggi, kami masih melihat emiten-emiten berkualitas di sektor finansial dan konsumer yang masih diperdagangkan di valuasi yang cukup menarik,” pungkas dia.
