Pro Kontra Gelar Pahlawan bagi Soeharto, ini Penjelasan Sejarawan Anhar Gonggong
Jakarta, 9 November 2025 – Setiap tahun menjelang hari Pahlawan 10 November, Pemerintah akan menganugerahkan gelar Pahlawan kepada sejumlah tokoh yang dinilai berjasa besar bagi bangsa dan negara. Pemberian gelar Pahlawan melalui proses pengusulan dari berbagai elemen masyarakat dan seleksi yang ketat di Dewan Gelar. Namun keputusan akhir tokoh mana saja yang akan diberikan gelar Pahlawan berada di tangan Presiden.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengatakan, tahun ini ada 40 calon nama Pahlawan Nasional yang dianggap memenuhi syarat. Selain itu, ada 9 nama lainnya yang merupakan tokoh yang diusulkan dari tahun sebelumnya. Dengan demikian total ada 49 tokoh yang diusulkan. Namun dari 49 nama-nama tokoh tersebut, menurut Fadli Zon, hanya 24 tokoh yang masuk dalam prioritas penerima gelar Pahlawan.
Nama Soeharto, Presiden di era orde baru masuk dalam daftar penerima gelar Pahlawan. Fadli Zon menegaskan, Soeharto sudah diusulkan menjadi calon pahlawan sebanyak tiga kali. Masuknya Soeharto ke dalam tokoh penerima menimbulkan gelar Pahlawan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat karena sepak terjangnya ketika berkuasa.
Sejarawan, Prof Dr Anhar Gonggong, mengatakan Soeharto berjasa dalam menyelamat ekonomi Indonesia ketika awal menjabat sebagai Presiden di tahun 1967. Ekonomi Indonesia saat itu memang mengalami kebrangkutan dengan angka inflasi mencapai 600 persen.
“Pak Harto mengambil tanggung jawab sebagai Presiden dengan didukung oleh berbagai pihak, terutama sejumlah ekonom dari UI, salah satunya Profesor Sumitro Djojohadikoesoemo, ayah dari Presiden yang sekarang,” papar Anhar Gonggong di laman YouTube Anhar Gonggong Offical.
Dalam proses membangun kembali Indonesia Presiden Soeharto berhasil mendapat dukungan keuangan dari negara-negara seperti AS, Inggris, Jepang, Australia, dan Belanda. Negara-negara donor ini tergabung dalam forum IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). “Bahkan ketua IGGI nya Belanda, akhirnya ekonomi Indonesia mulai berkembang,” tandasnya dalam podcast berjudul “Soeharto: Pahlawan atau Diktator.
Keberhasilan Soeharto berikutnya yang patut diapresisi menurut Anhar yakni pembangunan di bidang pendidikan. Sebelum era Soeharto Pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan.
“Yang namanya sekolah itu, sekolah tingkat SD saja belum tentu ada di kecamatan, dan SMA cuma ada di kabupaten, dan itu pun cuma satu. Tapi ketika pak Harto jadi Presiden pendidikan mulai menyebar, di tingkat kecamatan paling tidak ada satu SD Inpres, bahkan dalam perkembangan selanjutnya disediakan SMP dan SMA di tiap kecamatan,” paparnya.
Anhar menambahkan, ketika menjadi tentara peran Soeharto juga tidak bisa dianggap kecil, walaupun isu korupsi sempat menderanya ketika dia menjabat sebagai Panglima Diponegoro.
Presiden Soekarno juga tercatat pernah menunjuk Soeharto sebagai Kepala Komando Pembebeasan Irian Barat di Makassar. Padahal menurut pengakuan beberapa elit tentara saat itu Soekarno kurang menyukai sosok Soeharto yang dianggapnya keras kepala.
Sisi Kontroversi
Namun Anhar Gonggong mengakui ada sisi-sisi kontroversial dari sosok yang mendapat gelar Jenderal Besar itu. Kontroversi tersebut antara lain ketika Soeharto menangani kasus korupsi yang melibatkan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo.
“Saya pernah mendengar cerita dari seorang mantan menteri, mantan itu datang ke Pak Harto dan memberi tahu. Saat itu katanya pak Harto tidak menunjukkan wajah yang marah, biasa saja, cuma dia menugaskan kepada seorang menteri untuk mengatasi persoalaan di Pertamina, dan akhirnya memang bisa diselesaikan,” tuturnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan korupsi memang menjadi sorotan kritis dari banyak tokoh yang saat itu berseberangan dengan Pemerintahan Orde Baru. Anhar bilang persoalan korupsi makin mencuat terutama ketika anak-anak Soeharto sudah mulai beranjak dewasa.
Masalah HAM dan Pemerintahan Otoriter
Sisi kontroversial lainnya dari Soeharto dugaan keterlibatannya dalam pembantaian terhadap simpatisan PKI. Pasca kegagalan pemberontakan G30S/PKI dan pembubaran PKI memang terjadi upaya balas dendam dari masyarakat terhadap PKI yang sebelumnya melakukan penganiyaaan terhadap masyarakat, terutama kalangan Muslim.
“Sudomo mengatakan ada lebih dari 1 juta orang simpatisan PKI yang dibunuh. Ini tidak lepas dari perbuatan PKI di masa lalu, misalnya peristiwa Kanigoro, dimana anak-anak PII dan TII yang sedang melakukan Latihan Kepemimpinan didatangi pemuda rakyat yang masuk ke masjid, menginjak-injak Al-Quran dan membubarkan kegiatan. Ini semacam pembalasan terhadap PKI, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ini yang menjadi persolan, sehingga ada sejumlah orang yang tidak sepakat jika pak Harto dijadikan Pahlawan Nasional,” ungkapnya.
Soeharto juga dianggap mematikan iklim demokrasi di masyarakat ketika melakukan penyederhanaan partai pada waktu Pemilu 1971, yang merupakan Pemilu pertama di era Orba.
Anhar menegaskan, ketika itu ada usulan agar Partai Masyumi dihidupkan kembali, tapi Soeharto menolaknya. Kemudian dibentuklah Partai Muslimin Indonesia. “Ada yang menghendaki Mohamad Roem menjadi ketua Partai Muslimin Indonesia, karena dia juga tokoh Masyumi, tapi ditolak juga, kemudian ditunjuk tokoh lain yang kemudian menjadi orang dekat Soeharto,” imbuh Anhar.
Pada Pemilu 1971 rejim Soeharto melakukan penyederhanaan partai secara paksa. Partai-partai berhaluan Islam dimasukkan ke dalam gerbong Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai-non Islam dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Soeharto juga dinilai memilki catatan yang buruk dalam hal HAM. Di era tahun 80-an muncul fenomena petrus (penembak misterius). Banyak anggota masyarakat yang ditembak mati oleh petrus dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan begitu saja. Mereka yang ditembak mati dituduh sebagai penjahat atau gangster tanpa melalui proses pengadilan.
Di luar pro dan kontra pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto, Anhar mengatakan, keputusan tetap berada di tangan Presiden sebagai pemegang hak prerogratif.
“Apakah orang setuju atau tidak setuju, yang jelas pak Harto pernah menjadi Presiden, melakukan pembangunan ekonomi di tengah negara sedang mengalami kebrangkutan, bahkan dalam perkembangannya Indonesia dianggap sukses menjalankan pembangunan di lingkup negara-negara Asia Tenggara,” tutur Anhar.
Anhar juga menegaskan, Presiden Prabowo tidak akan mudah memutuskan gelar Pahlawan kepada Soeharto karena dia pernah terkait dengan pak Soeharto sebagai anak buah dan sebagai mantu.
“Andai saya keluarganya pak Harto saya tidak akan menuntut gelar Pahlawan, karena sudah ada gelar Bapak Pembangunan. Tapi kalau masyarakat menuntut, dan Presiden bersedia mengambil tanggung jawab dengan hak prerogratifnya, ya silahkan,” urai Anhar.
Sebagai catatan, pada tahun 1982, Presiden Soeharto ditetapkan sebagai “Bapak Pembangunan” oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). “Yang memberikan gelar itu MPR hasil pemilu, beda dengan Soekarno yang diberikan mandat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Terlepas dari apakah orang setuju atau tidak setuju terhadap Pemilu di era Orba,” kata Anhar.
