Rahasia Sukses China: dari Negara Miskin Jadi Adidaya Ekonomi

Jakarta, 13 November 2025 – China sering dijuluki sebagai ‘keajaiban ekonomi’ abad ke-21. Dalam waktu kurang dari lima dekade, negara yang pernah bergulat dengan kemiskinan ekstrem berhasil menjelma menjadi kekuatan ekonomi global. Dari negara agraris dengan pendapatan per kapita rendah di akhir 1970-an, menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini.

Menurut data Bank Dunia, sejak reformasi ekonomi pada tahun 1978, ekonomi China tumbuh rata-rata lebih dari 9% per tahun. Lebih dari 800 juta orang berhasil keluar dari kemiskinan ekstrem, menjadikan China sebagai negara dengan kontribusi terbesar terhadap pengentasan kemiskinan global.

Transformasi ekonomi ini didorong oleh sejumlah faktor kunci: reformasi pasar oleh Deng Xiaoping, kebijakan industrialisasi berbasis ekspor, investasi besar-besaran dalam infrastruktur, serta pembangunan sumber daya manusia dan inovasi teknologi.

Transformasi di China bukan hanya soal angka pertumbuhan, tetapi perubahan cara berpikir, cara berproduksi, dan cara negara mengelola masa depan. Berikut beberapa strategi reformasi ekonomi yang dilakukan oleh negeri tirai bambu tersebut:

Reformasi yang Dimulai dari Desa

Perubahan besar China dimulai dari hal kecil — tepatnya dari desa-desa di Anhui dan Sichuan. Tahun 1978, kebijakan “Household Responsibility System” memberi petani kebebasan mengelola lahan sendiri setelah memenuhi kewajiban negara. Produktivitas pertanian pun melonjak, surplus pangan meningkat, dan jutaan keluarga keluar dari kemiskinan.

Inilah fase pertama reformasi Deng Xiaoping, yang kemudian membuka jalan bagi ekonomi pasar sosialis: sebuah sistem yang menggabungkan kontrol negara dengan kebebasan pasar secara selektif.

Menjadi “Pabrik Dunia”

Tahun 1990-an menandai babak baru industrialisasi. Pemerintah China membuka zona ekonomi khusus (Special Economic Zones / SEZ) seperti Shenzhen, Zhuhai, dan Xiamen. Daerah-daerah ini menawarkan insentif pajak, kemudahan investasi, dan infrastruktur yang masif bagi perusahaan asing.
Shenzhen, misalnya, yang dulu hanyalah desa nelayan kecil, kini menjadi pusat teknologi global, rumah bagi Huawei, BYD, dan Tencent. Keberhasilan model ini bukan semata karena tenaga kerja murah, tapi karena disiplin, efisiensi, dan kemampuan belajar cepat. China mempelajari teknologi asing, lalu mengembangkan versinya sendiri dengan biaya lebih rendah dan skala lebih besar.

Negara Sebagai Arsitek Ekonomi

Berbeda dengan model kapitalisme Barat yang mengandalkan pasar bebas, China menerapkan kapitalisme negara: pemerintah tetap menjadi arsitek utama. Pemerintah menentukan sektor strategis — energi, teknologi, infrastruktur, dan keuangan — sambil membiarkan kompetisi tumbuh di sektor lain.

Kombinasi ini menciptakan keseimbangan antara arah jangka panjang dan efisiensi jangka pendek. Saat negara lain berdebat soal intervensi pemerintah, China bergerak cepat dengan perencanaan jangka panjang 5 tahunan, yang tidak hanya mengatur ekonomi, tetapi juga arah riset, pendidikan, dan inovasi teknologi.

Teknologi dan Inovasi sebagai Mesin Baru

Memasuki abad ke-21, China sadar bahwa tidak mungkin selamanya bergantung pada ekspor manufaktur. Maka, mereka mengubah arah menjadi ekonomi berbasis inovasi.

Melalui strategi “Made in China 2025”, Beijing mendorong penguasaan teknologi tinggi — dari semikonduktor, AI, kendaraan listrik, hingga eksplorasi ruang angkasa. Perusahaan seperti Alibaba, TikTok (Bytedance), dan DJI menunjukkan wajah baru China: bukan hanya pembuat barang, tapi pencipta teknologi global.

Pembangunan Infrastruktur dan Urbanisasi Masif

Dalam waktu singkat, China membangun jaringan jalan tol, rel cepat, dan pelabuhan yang menjangkau pelosok negeri. Proyek infrastruktur ini bukan hanya meningkatkan konektivitas, tapi juga menciptakan pasar domestik baru.

Lebih dari 600 juta orang berpindah ke kota, mengubah struktur ekonomi dari agraris ke industri dan jasa. Urbanisasi ini juga menciptakan kelas menengah baru, yang menjadi motor konsumsi domestik dan inovasi finansial seperti Alipay dan WeChat Pay — bukti bagaimana teknologi dan gaya hidup urban saling memperkuat.

Pendidikan, Disiplin, dan Visi Jangka Panjang

Salah satu kekuatan utama China adalah perencanaan lintas generasi. Pendidikan sains dan matematika dijadikan prioritas nasional. Anak-anak tumbuh dalam kultur disiplin dan kerja keras yang tinggi, selaras dengan nilai Konfusianisme: stabilitas, harmoni, dan pengorbanan individu untuk kepentingan bersama. China tidak hanya ingin menjadi kaya, tapi berdaulat secara teknologi dan ideologi.

Moderninasi bukan Berarti Westernisasi

Perjalanan China membuktikan satu hal penting: modernisasi tidak selalu berarti Westernisasi. Negara ini berhasil menemukan jalan ketiganya sendiri — antara sosialisme dan kapitalisme, antara kontrol dan kebebasan, antara kecepatan dan arah.

Rahasia sukses China bukan hanya soal ekonomi, tapi tentang kemampuan kolektif untuk belajar, beradaptasi, dan menatap jauh ke depan. Di situlah pelajaran terbesar bagi negara-negara berkembang lainnya: kemajuan tidak datang dari meniru, tetapi dari menemukan versi terbaik dari diri sendiri.

Pendapat Pakar

Dalam “konsep fundamental dalam filsafat dan budaya China,” dua hal yang berlawanan — yin dan yang — “saling menarik dan saling melengkapi,” ujar James Hsiung, Professor ilmu politik and hukum internasional  New York University, kepada  Xinhua.

“Tak bisa dipungkiri, keberhasilan luar biasa Tiongkok membuktikan bahwa kapitalisme Barat bukan satu-satunya jalan bagi kemajuan sebuah negara,” tambahnya.

Faktor penting lain yang mendorong keberhasilan reformasi dan keterbukaan Tiongkok yaitu “kepemimpinan terpadu” Partai Komunis Tiongkok (CPC), kata Hsiung.

CPC disebut sebagai “pikiran dan hati China,” dan “kepemimpinan yang terpusat” menjadi jaminan atas pelaksanaan kebijakan nasional yang efektif dari pemerintah pusat hingga tingkat lokal. “Hal ini sangat berbeda dengan kondisi Tiongkok sebelum 1949, yang terpecah dan lemah,” ujarnya.

Menurut Hsiung, pencapaian luar biasa Tiongkok dalam 70 tahun terakhir juga menegaskan, bahwa budaya dan filsafat Tiongkok memiliki banyak keunggulan dalam tata kelola politik dan ekonomi nasional, sehingga “rakyat China memiliki alasan kuat untuk percaya diri dan bangga atas sejarah serta kebudayaan mereka.”

Robert Kuhn, Ketua The Kuhn Foundation, menyebut Tiongkok telah mengalami dua “transformasi bersejarah yang sama pentingnya” dalam tujuh dekade terakhir: keterlibatan aktif dalam komunitas global dan keberhasilan luar biasa dalam pengentasan kemiskinan.

Menurut Kuhn, perkembangan ekonomi Tiongkok yang mendasari dua transformasi tersebut dipicu oleh serangkaian “prinsip penggerak” — mulai dari kerja keras rakyatnya demi memperbaiki taraf hidup, sistem yang menjaga stabilitas politik sembari memberi ruang bagi kebebasan ekonomi, hingga visi jangka panjang yang terencana dan konsisten.

Kuhn menekankan pentingnya budaya eksperimen sebelum kebijakan diterapkan secara luas, serta keberanian untuk mengakui dan memperbaiki kesalahan. “Zona perdagangan bebas di Shanghai, misalnya, dioperasikan selama tiga tahun lebih dulu sebelum model serupa diterapkan di kota-kota lain — kini jumlahnya sudah belasan, termasuk di seluruh Provinsi Hainan,” jelasnya.

Deng Xiaoping dan Filsafat “Menyebrangi Sungai dengan Meraba Batu”: Eksperimen di Balik Keajaiban Ekonomi Tiongkok

Dalam bukunya Ideas for China’s Future (2020), ekonom Tiongkok Weiying Zhang menulis bahwa Deng Xiaoping sering disebut sebagai arsitek reformasi di China. Namun, seperti dijelaskan Zhang, Deng memahami bahwa reformasi ekonomi dan sosial tidak bisa dibangun layaknya sebuah gedung — berdasarkan rancangan yang sudah pasti.

Sebaliknya, pendekatan yang diperlukan adalah apa yang disebutnya: “menyebrangi sungai dengan meraba batu.” Artinya, setiap langkah diambil dengan hati-hati, melalui eksperimen dan pembelajaran dari praktik nyata. Deng tidak membuat keputusan besar hanya lewat dekrit atau kebijakan sepihak. Baik reformasi harga, pasar tenaga kerja, sistem pajak, maupun perdagangan luar negeri, semuanya diuji terlebih dahulu di wilayah atau sektor tertentu — seperti zona ekonomi khusus. Jika berhasil dalam skala kecil, barulah kebijakan itu diperluas; jika gagal, ditinggalkan.

Zhang menyebut keberhasilan besar Tiongkok sebagai hasil dari inisiatif-inisiatif “dari bawah,” bukan semata keputusan dari pusat. Kejeniusan Deng justru terletak pada kesadarannya akan keterbatasan diri. Seperti dikatakan Zhang, “Deng Xiaoping tahu apa yang tidak ia ketahui.”

Weiying Zhang — yang dikenal luas sebagai salah satu analis paling tajam tentang ekonomi China — menolak pandangan bahwa keberhasilan Tiongkok disebabkan oleh peran besar negara. Ia menyebut pandangan itu sebagai salah kaprah yang banyak dipercaya di Barat, bahkan kini juga di dalam negeri China sendiri.

“Para pendukung model Tiongkok keliru,” tulis Zhang. “Mereka salah menafsirkan Tiongkok dapat tumbuh cepat bukan karena peran negara yang besar dan birokrasi yang tak terbatas.

Menurut Zhang, kekuatan utama di balik kemajuan Tiongkok adalah proses “marketisasi” dan “privatisasi.” Dari hasil analisisnya terhadap berbagai provinsi, Zhang menemukan bahwa semakin tinggi tingkat reformasi berorientasi pasar yang dijalankan sebuah provinsi, semakin tinggi pula pertumbuhan ekonominya. Sebaliknya, wilayah yang lambat melakukan reformasi pasar juga tertinggal dalam laju pertumbuhannya.

Provinsi seperti Guangdong, Zhejiang, Fujian, dan Jiangsu — yang paling konsisten menjalankan reformasi pasar — juga mencatat pertumbuhan ekonomi paling pesat di seluruh negeri.

Satu temuan penting lain dari penelitian Zhang yakni kemajuan reformasi sebaiknya diukur dari perubahan skor marketisasi sepanjang waktu, bukan hanya posisi pada tahun tertentu, tapi tetapi seberapa jauh kemajuan yang berhasil dicapai dari waktu ke waktu.

Dan hasilnya jelas, pertumbuhan tertinggi terjadi di wilayah di mana perusahaan swasta memainkan peran dominan. “Provinsi dengan perekonomian yang lebih ‘terprivatisasi’ cenderung tumbuh lebih cepat. Bukan sektor negara, melainkan sektor non-negara, yang menjadi pendorong utama pertumbuhan tinggi di China,” kata Zhang dikutip dari iea.org.uk.