VIDA Hadirkan Teknologi Autentikasi Wajah Berbasis AI untuk Cegah Penipuan Digital

Jakarta, 6 November 2025 — Di tengah derasnya arus digitalisasi, ancaman penipuan daring berkembang semakin canggih. Teknologi yang dulu dirancang untuk memudahkan, kini juga menjadi senjata bagi pelaku kejahatan siber.

Dalam forum Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dan Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2025, VIDA menyoroti tantangan baru tersebut sembari memperkenalkan cara pandang baru terhadap autentikasi identitas digital.

Dalam sesi bertajuk “Digital Trust for a Resilient Economy”, Niki Luhur, Founder & Group CEO VIDA, menyampaikan bahwa ancaman digital saat ini tak lagi sekadar soal keamanan sistem, melainkan juga manipulasi psikologis pengguna. “Banyak serangan dilakukan dengan memanfaatkan kepercayaan manusia—phishing, account takeover, hingga deepfake,” ujar Niki.

“Teknologi deepfake kini sudah mencapai titik di mana sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Karena itu, lembaga seperti VIDA sebagai Certificate Authority (CA) memegang peran penting untuk menjaga integritas identitas digital dan memastikan data serta transaksi tidak bisa dipalsukan,” imbuh Niki.

Fenomena seperti deepfake dan scan-as-a-service menjadi bukti, bahwa penipuan digital kini beroperasi layaknya bisnis tersendiri. Baru-baru ini, misalnya, ditemukan device farm di Latvia yang menyediakan akses ke 48 juta akun digital bagi 15 ribu pelaku fraud. Infrastruktur semacam ini menunjukkan bagaimana penipu bekerja dalam skala industri, lengkap dengan data sharing dan dukungan teknis.

VIDA, sebagai penyedia identitas digital bersertifikat (Certificate Authority), menempatkan dirinya pada peran penting dalam menjaga integritas identitas digital. Melalui riset internalnya, VIDA Fraud Intelligence Report 2025, ditemukan bahwa kasus deepfake fraud di Asia Pasifik melonjak lebih dari 1.500 persen, sementara hampir seluruh bisnis di Indonesia pernah menjadi target rekayasa sosial. Dalam periode 2022–2024 saja, sektor perbankan mencatat kerugian lebih dari Rp2,5 triliun akibat lemahnya sistem autentikasi konvensional seperti SMS OTP dan kata sandi.

Untuk menjawab tantangan tersebut, VIDA mengembangkan dua solusi utama FaceToken dan PhoneToken. Keduanya dirancang untuk memungkinkan proses verifikasi tanpa kata sandi (passwordless authentication), dengan menggabungkan pembelajaran mesin dan deteksi wajah berbasis AI. Teknologi ini tidak hanya mempercepat proses transaksi digital, tetapi juga mengurangi potensi transaksi ilegal hingga 90 persen di sektor keuangan.

Di balik itu, VIDA juga membangun AI-native security framework, sistem keamanan yang memadukan computer vision, fraud detection engine, dan analisis perangkat untuk membaca pola serangan yang lebih kompleks seperti virtual camera spoofing dan injection attack. “Kami tidak hanya membaca foto, tapi juga memahami perilaku serangan dari sisi perangkat dan aplikasi,” kata Niki.

Namun, bagi Niki, kehadiran teknologi bukan semata soal kecanggihan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor—antara perbankan, fintech, asosiasi, dan penyedia keamanan digital—untuk memperkuat ketahanan ekosistem nasional.

“Kita di sisi industri juga harus berkolaborasi dengan skala yang sama kuatnya, antara perbankan, fintech, asosiasi, dan penyedia keamanan digital, untuk memperkuat ketahanan ekosistem digital nasional,” jelas Niki.

“Autentikasi seharusnya mudah tapi sekuat enkripsi,” tutup Niki. “Keamanan digital yang baik bukan yang rumit, tapi yang membuat pengguna merasa aman tanpa disadari.”